Friday, November 13, 2020

Barcelona and Us

It was first time to know about Catalonia from Barcelona and Real Madrid. The rivalry of both of the football club it is not about how many the championships they won but the way they think about their selves, especially Barcelona. Madrid, as capital city of Spain, it is like a center of power—Barcelona is nothing but separatist in the past. They have their own life and culture, even language, different from the center. I guess, I have read the news that some of them want to do some referendum for their future. Some of Barcelona fans around worry about this—when Catalonian people choose to be independent from Spain it means their club is over. I just surprise how it works: the person I already know well supporting others to fight for the freedom did the opposite because of the club. Dunno what happened with their brain. LoL.

But, I should think a lot after watch the movie namely Fire, I’m sorry I forget the title in Spanish, about the revenge of Carlos, a detective works for the state to deal with the separatist group. He lost his wife and his daughter—actually the daughter lost her leg—after a car bombing. He prepares everything he needs to do this, including an assistant for the daughter after his leaving to the town where the family of the separatist group, the correct is the family of the person who did the car bombing, live. It is part of Bilbao—there is Athletic Bilbao located—and the group namely ETA.

After receiving some secret information from a friend who works in the police station, he go. He meets with the wife of Eusobia, I guess. Carlos is super smart—he asks the wife to translate his novel to the local language. Carlos now has a business on security and writes some novels? A big no, yes. It is his private journal dedicated to his wife after the attack. It composed by pain, sad, guilty, angry, and others describing his deeply loss. During the business, he meets with the son of Eusobia. Carlos is shocked that the son has a down syndrome. The information excluded the son, because the police have nothing about this. Carlos ignores the feeling, the way he feels to his daughter, and go to manipulate the innocent feelings of the son. He enrolled the son to the drama class, which is could not provide by the mother due to down-syndrome she worries about, and asked the possibility to date his mother. Finally, he initiates a vacation in a very remote that even a signal of cellular phone could not reach them.

The wife knows nothing about this. The only plan she has is to provide a better life for the son. The money to feed him and no more hate to others—what her husband done send them to prison after killing of 8 (eight) persons is part of hate. She wants to make a distance with the husband for many reasons. She dislikes the way of life of his husband and the way the husband accepting the son. The son is less-expected by the father, the member of separatist group should not a down-syndrome person, and he said that it is better if the son is dead.

Carlos is on the plan. The wife is shocked after he reveals his self. He is Carlos, not Alvaro as she knows, and he will do revenge. The wife wants to delete her action if the time gives her the chance. Carlos is still on the plan: he wants to kill the wife and to make the son loss his leg as well as happened to his daughter. She begging to her to kill herself but save the son. Carlos got angry because he did the same for 12 years: I’m the actor and don’t do this to my daughter and nobody cares about this. Carlos starts to kick the legs and shoot the wife. He goes to the hospital, finally, to save the son. He thinks the revenge from the daughter’s perspective: he doesn’t need to this and the daughter need her much.

The police suggest her to sue him but she says: I will not do that. It is dangerous thing, the police argued, but she is a stubborn. The way they reconcile each other it is the way they shares the feeling of deeply loss of their beloved persons, I think.

P.S. Spain is the most destinations I want to visit especially for Cordova as the center of Islamic civilization in the past. Now, I add Barcelona for the same plan to feel their spirit about Madrid :)

 16th April, 2016


Tuesday, November 09, 2010

Where Are You?


Hm. This day I got headache. I think too much for my thesis. Yeah, everything I do for you three musketeers (read: Trio-Mas-Getir). They give very good task: writing proposal for my thesis :(

To be honest, for me, it's a very big problem. Let's imagine. I don't know--somebody teach me, but I can't understand--about reserach methodology. And, now, the Trio ask me, and my friend as a new graduate student, to finish it A.S.A.P.

Well, everybody, on pressure. I'm sure with this statement due to we share this problem when get lunch. It's make us relax for moment, but it's make me thinks harder and harder. I keep thinking every night. I keep visit the library--then I bring a huge book. I did it for two weeks. And, I got headache. No title. Nothing.

Somebody, friend of my friend, said that we can get inspiration when we keep quit from daily activities. Weel, I will do this. But, I have to cancel it. Uncle Obama will come here this evening. It's mean, you get a traffic. I prefer stay long at my dormitory rather than call my friend for meeting in some place.


Where are you, the inspiration? Dunno the way to find you :(

Friday, April 07, 2006

PERDA SI; ASPIRASI ATAWA KOMODITI?

Oleh: Nurun Nisa’

Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta menunjukkan bahwa 61,4% penduduk Muslim yang bermukim di 16 propinsi di seluruh Indonesia menyetujui syari'at Islam (SI). Riset yang dilakukan pada November 2001 ini kemudian menambahkan soal keterbelahan sikap para responden. Mereka, yang notabene santri, ternyata tidak sepaham dalam soal implementasi SI. 'Syari'at yes, potong tangan nanti dulu', kiranya merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan realitas ini; ada perbedaan tajam antara pemahaman dan pelaksanaan SI (Tempo, 2001).

Realitas ini amat menarik jika dikaitkan dengan regulasi otonomi daerah seperti termaktub dalam UU No.22 Tahun 1999. Peraturan yang menjamin daerah berhak mengatur dirinya sendiri ini telah membuka banyak peluang. Di antaranya adalah soal pilihan orientasi dalam pembuatan peraturan daerah. Termasuk juga kecenderungan (formalisasi) syari'at Islam.

Gejala di atas dapat dilihat dari meruyaknya aturan daerah bernuansa syari'ah Islam. Sebut saja perda syaria'ah Islam (perda SI). Penggagasnya rata-rata Bupati dengan dukungan badan SI. Di Garut, badan tersebut bernama LP3SI (Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan SI). Sulsel dengan KPPSI (Komite Persiapan Penegakan SI), Banten (KPPSIB; Komite Persiapan Penegakan SI Banten), Cianjur (LPPI, Lembaga Pengembangan dan Pengkajian Islam), Tasikmalaya (FBPI, Forum Bersama Pemuda Islam), Sukabumi (BPPSI, Badan Pengkajian dan Pengembangan SI). Tak kalah, Kebumen mempunyai FTJ (Front Thariqatul Jihad), Yogyakarta memiliki GPSI (Gerakan Penegak SI)-nya (Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, 2004).

Dan memang, bupati dan badan SI-lah yang selama ini menjadi aktor di balik Perda syariah di berbagai daerah. Peraturan di Bulukumba tentang pandai baca tulis Al-Qur'an bagi siswa dan calon pengantin No. 06 Tahun 2003 misalnya dirumuskan oleh Bupati Patoboi Pabokori dan Ketua KPPSI, Aziz Kahar Muzakkar. Atau Perda No. 18/2001 soal pelarangan minuman keras di Pamekasan oleh Bupati Dwiatmo Hadiyanto. Juga Bupati Wasidi Swastomo dengan konsep Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah) di Cianjur—dan lantas ditindaklanjuti dengan pembentukan LPPI (Lihat tabel). Kesemua daerah memperlihatkan ciri-ciri yang hampir seragam.

Betapapun, tidak mampu disangkal adanya kenyataan bahwa masyarakat didera kepanikan yang luar biasa ketika Orde Baru tumbang. Rezim yang begitu hegemonik ini meninggalkan rakyat dalam beliung keterpurukan. Dan, publik akhirnya limbung. Mereka seolah kehilangan pegangan karena seluruh hidupnya selama ini telah diatur dan ditundukkan oleh berbagi policy yang dibuat pada masa rezim Soeharto.

Akhirnya, ketika rezim itu runtuh, sebagian dari mereka mulai mencari authentisitas diri. Ambisi ini dimulai dengan 'pencarian' asal-mula daerah yang berujung pada romantisme Negara Islam Indonesia (NII) seperti di Garut (RAHIMA, 2004) atau kerajaan Islam tempo doeloe pada kasus Bulukumba (LAPAR, 2004). Kemudian dilanjutkan dengan problem otentisitas budaya—bahwa kita dikungkung oleh budaya Barat. Hukum dan ekonomi, sebagai contoh, yang membuat Indonesia terjerembab dalam krisis multidimensi adalah hasil adopsi peradaban Barat. Untuk itu, kita perlu kembali ke asal; kita perlu kembali ke 'khittah' awal yang original, yang asli. Dengan kata lain, hukum Islam, ekonomi Islam, dan seterusnya merupakan solusi paling ampuh.

Yang lain, merasa resah karena banyak terjadi degradasi moral yang sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan. Banyaknya perempuan yang berpakaian mini dan tidak berjilbab ditambah pornografi dan pornoaksi yang kian marak, misalnya, membuat jengah sebagian kalangan. Aturan berjilbab dan kewajiban memakai busana muslim(ah) yang ketat tak ayal menunjukkan opini ini. Dan, terlihatlah sebuah upaya 'mendisiplinkan' perempuan—perempuan kadung dianggap sebagai parameter baik buruknya moralitas masyarakat—demi memperbaiki keadaan.

Berbagai alasan kuat ini lantas berjalin berkelindan dengan ambisi-ambisi kelompok kepentingan. Di Cianjur, Bupati menjadikan perda SI sebagai program utama, main program. Tentu ini terkait dengan interest politik; apalagi jika disambungkan dengan event pilkadal (pemilihan kepala daerah langsung) yang kian mendekat. Bupati Bulukumba dan Sukabumi nampaknya melakukan upaya yang terakhir ini. Dengan demikian, bukan tidak mungkin, terjadi politisasi agama—syari'ah dibungkus sedemikian rupa sehingga berbentuk komoditas politik yang bernilai jual tinggi.

Di samping kepentingan politis, dalam penerapan perda SI, ditengarai terdapat pula kepentingan bisnis. Meski menumpang, kepentingan kaum pemodal ini menangguk untung besar. Di Tasikmalaya, industri bordir maju pasca lahirnya regulasi SI terutama berkaitan dengan suplai jilbab sehubungan isu jilbabisasi. Pun di Cianjur, seperti dilansir AD. Kusumaningtyas (aktivis RAHIMA), di mana terdapat penyelenggaraan busana muslim keluaran Shafira sehabis pertemuan ibu-ibu PKK. Juga Bandung, hanya peragaan rancangan baju muslimah saja yang diizinkan. Soal perda miras yang inkonsisten ternyata menimbulkan problem baru; kesenjangan antara pedagang besar dengan pedagang kecil. Pembolehan penjualan miras hanya di tempat pariwisata (Bira) menguntungkan pihak tertentu (LAPAR, op.cit.). Pengusaha besar tidak dirugikan karena dagangannya tetap dapat dijual asalkan memperoleh mengantongi izin resmi.

Sementara itu, sebagian kalangan mengklaim bahwa perda SI murni niatan untuk menjalankan perintah Tuhan. Karena berstatus Muslim, maka, mereka mesti melaksanakan SI. Perda miras (Pamekasan), perda zakat profesi (Lombok Timur), qanun khalwat (Aceh), dan kewajiban memakai jilbab (Cianjur) serta larangan keluar malam bagi perempuan (Padang) dianggap mewakili semangat ini.

Namun, fenomena yang terjadi belakangan memperlihatkan spirit 'yang lain'. Kebutuhan melaksanakan SI bukan lagi soal kepentingan komunal. Tepatnya, aspirasi kaum muslimin lokal. Dalam perjalanan, perda SI ternyata lahir tanpa komunikasi dengan kalangan akar rumput. Pola yang dianut bukan bottom-up, melainkan bergaya elitis; top-down. Draft perda sudah jadi; masyarakat tinggal menyetujui. Mereka tidak diberi ruang sama sekali untuk sekedar beradu argumentasi, apalagi mengkritisi. Bupati dan unsur-unsur pendukungnya menguasai wilayah ini.

Di sinilah, menurut Uli Parulian, Direktur LBH Jakarta, terdapat representasi semu. Representasi penuh (dalam proses pembuatan, pelaksanaan, dan pengawasan peraturan perundang-undangan) seperti dikehendaki oleh undang-undang tata cara pembuatan peraturan, tidak dilaksanakan. Perda SI malah diaku mewakili masyarakat—karena unsur-unsur struktural ormas tertentu memang diundang—padahal, yang paling berhak disebut representasi adalah masyarakat secara kultural. Di sinilah, terjadi sebuah reduksi dari demokrasi partisipatif yang sesungguhnya ideal menjadi—mengutip Robert A. Dahl—sekedar demokrasi prosedural (Robert A. Dahl, 2001). Perda SI sudah illegitimate secara sosial.

Jika ditarik dalam soal tata tertib perundang-undangan, lanjut Uli, perda SI sudah menyalahi hierarki. Kaidah lex superiore derogat lex inferiore (peraturan perundangan-undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi) sudah dilangkahi. Dengan demikian, perda SI, cacat untuk kedua kali; cacat dari sisi hukum. Namun, masyarakat tetap bungkam.

Keadaan ini (baca: masyarakat yang bungkam) patut dipertanyakan. Apalagi jika dilengkapi data-data berikut; Alifah (nama samaran) digunduli kepalanya oleh Forum Bersama Pemuda Islam (FBPI) sebab tertangkap basah pulang malam tanpa didampingi muhrim. Padahal, ia melakukannya karena darurat; ia tidak mendapatkan kendaraan sampai malam menjelang. Forum pendukung SI Tasikmalaya ini tidak (mau) tahu bahwa sang gadis sudah berinisiatif berangkat sejak pagi buta (Taufik Adnan Amal, op.cit). Idham, mantan aktivis mahasiswa yang juga lulusan PTAIN ternama, mengalami nasib serupa. Ia 'dikerjai' aparat kabupaten Bulukumba ketika akan bertemu dengan Bupati. Al-Qur'an harus dibaca terlebih dahulu sebagai tiket masuk dalam protokol birokrasi di salah satu daerah Sulsel ini. Bahkan, di Lombok Timur, soal pungutan zakat profesi telah menyengsarakan para 'Oemar Bakri'. Gaji yang sudah kecil dipotong sebanyak 2,5% tanpa diperkuat dengan transparansi (Syir'ah, 2006). Walhasil, perda SI telah memakan korban.

Tekanan politik yang keras dan kontinyu, setidaknya, menjadi alasan utama mengapa perda SI tetap (di)berlangsung(kan). Suara protes hanya lamat-lamat terdengar ditelan gemuruh penyeragaman kepatuhan. Nampaknya, silent majority saja yang tetap eksis—meski tidak memiliki imbas signifikan. Begitu efektif dan manjurnya kebijakan ini, antara lain karena didukung oleh mekanisme pemaksaan model baru. Pemaksaan pemahaman keagamaan, menyitir Ahmad Suaedy, telah menggeser pemaksaan militer ala Orde Baru. Benar, kombinasi antara pemuka agama dan penguasa telah mengefektifkan kerja-kerja hegemoni ini. Memasuk-paksakan program-program SI sebagai program unggulan, tandas direktur The Wahid Institute ini, menjadi penanda akurat yang dominan.

Kalau sudah seperti ini, perda SI nampaknya tidak bisa ditabalkan sebagai aspirasi melainkan komoditi. Masihkah kita berekspektasi? Wallahu A’lam.